Tuesday, July 14, 2009

“Kado Ulang Tahun”

22.14 : 25.09.2007.

Ini adalah malam yang langka dari sekian banyak malam yang tak kukenal namanya. Rasa kantuk datang begitu tiba-tiba kendati malam belum begitu larut. Sebuah sensasi premature yang aneh untuk seorang pencinta malam sepertiku dan teman-temanku yang biasa melewatkan malam dengan duduk bermain kartu sambil mengobrol dan tertawa-tawa atau nonton sambil menghisap rokok dan menikmati cangkir-cangkir kopi berisi teh manis pekat yang khas atau hanya duduk serius di depan computer sambil mengotak-atik mouse, keyboard atau twin joystick dengan suara yang merobek seluruh ruangan. Atau sesekali mengisinya dengan ketololan-ketololan lain yang akan membuat tertidur hanya karena paksaan fisik. Mulai lelap saat subuh datang atau matahari menjelang dan berakibat bangun siang bahkan petang. Lalu kuhabiskan siang hari di kerajaan mimpi untuk bersembunyi dari matahari. Apalagi musim panas sepertinya belum berniat untuk pergi sementara musim dingin masih malu-malu untuk unjuk diri.

Ketika kejernihan kembali bernaung dalam nurani, maka aku akan menyesalinya. Ya..menyesali kehidupan yang jauh dari kewajaran sehari-hari. Tanpa agenda untuk mengatur kegiatan. Tanpa jam sebagai penunjuk waktu sehingga terlalu banyak waktu yang terlewatkan untuk sesuatu yang tak semestinya. Dan aku telah kehilangan kompas menuju masadepan. Membuat alur hidupku terseok-seok tanpa arah di jalan kehidupan yang panjang.

Sebenarnya aku sangat menyadari bahwa penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk menempatkan diri pada tempatnya. “Bukankah seharusnya aku dapat menanamkan lebih banyak kemanisan untuk esok hari?”. Ini adalah pertanyaanku pada diri sendiri. Sebuah pertanyaan yang selalu terulang tanpa kujawab. Percuma saja, karena jawabannya tetap saja akan terdengar naïf. Sebab aku tak pernah menyaksikan pada realitanya kecuali kenihilan.

22.33 : 25.09.2007

Malam baru mulai meninggi di kota ini, padahal matahari telah beranjak cukup lama dari kaki cakrawala. Kulihat langit terang dengan semburan cahaya bulan yang hampir sempurna, barangkali esok ia akan muncul sebagai purnama. Ya, ini adalah hari ketigabelas bulan ke sembilan dari tahun Hijriyah.

Orang-orang di kota ini akan merengek lapar saat dunia terang lalu menggelepar kehausan saat matahari menggarang di puncak ubun-ubun. Karena mereka biasanya mempercepat sarapan mereka saat malam mulai renta sebelum fajar tiba. Kemudian menggelar dan menyantap hidangan makan siang mereka saat ufuk merah matahari bersembunyi di belakang kota bersama senja yang menggelap dan kehilangan warna jingganya, sehingga tak ada jamuan makan dengan kehadiran sang surya. Mereka harus mematuhinya, sebab kalau tidak, maka berbagai cacian akan mendarat di sekujur tubuh dan mereka menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap tuhan.

Sejurus kemudian seluruh panca inderaku telah dirasuki hasrat tak tertahan yang memaksaku untuk masuk ke peraduan. Tapi aku merasa terlalu dini untuk bermimpi sambil berpeluk cium dengan bantal gulingku yang mulai keriput. Sementara gelak tawa, gaduh obrolan teman-temanku dan nada musik yang yang menggaung kuat masih memenuhi udara di ruang tamu, menembus kamar-kamar tidur, dapur, sampai ke kamar mandi.

“Ah, bukankah aku tak pernah peduli dengan apa yang mereka lakukan dan begitu pula sebaliknya?”Begitu gumamku dalam hati.

“Tidak, aku bahkan sangat peduli”sergahku kembali. “Persetan, lagipula aku tak pernah merasa terusik, tidak pula mereka”aku berpikir diam-diam menepis berbagai prasangka.

Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju kamarku dengan langkah lesu selesu hati dan isi dompetku dan aku menobatkan kondisi ini sebagai kesialan untuk kesekian kalinya di tahun yang sama.

Kurasakan suhu dalam ruangan mendadak anjlok menawarkan aroma bius yang memiliki daya lebih kuat dari sekedar kehendak untuk melarutkan diri dalam ketidaksadaran. Aku meletakkan ponselku di atas meja dan merebahkan tubuhku di atas pembaringan tanpa ranjang. Tatapanku perlahan melemah sayu hingga akhirnya mataku sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari kedipan.

Aku tergeletak seperti patung rebah, jiwaku lelap, hanyut dalam mimpi sambil menghisap kembali seluruh cairan kehidupan yang menguap bersama angin.

00.00 : 26.09.2007

Tiba-tiba ponselku berdering memekak gendang telingaku bertubi-tubi. Nyaris ibarat sebuah orkestra dengan ribuan melodi yang menggema di seluruh ruangan. Cukup nyaring untuk mengusir mimpi-mimpi yang baru beberapa saat berkeliaran diatas kepalaku. Suaranya seakan datang dari labirin ruang dan waktu yang sangat jauh. Sekali..duakali..tigakali..Hmm, entah berapakali ponselku berbunyi, aku tak mampu lagi mengandalkan jari tanganku untuk menghitung nada yang datang, tidak pula jari kakiku.

Aku mulai bosan dan muak. Ada rasa kesal yang menyeruak tanpa permisi di dadaku.

“Shit, aku lupa mengubah nada dering ponselku menjadi silent mode!”desisku memaki diri sendiri.

Hampir bersamaan jam kayu di dinding kamarku berbunyi seperti denting bel Persia, seakan menyahut nada dering ponselku yang belum mereda tanpa jeda. Tapi bagiku adalah kesesakan lain di lorong hati dan telingaku.

Untuk sesaat aku tak mampu untuk menjejak ruang dan waktu. Aku mencoba membuka mataku perlahan. Komponen-komponen gelap masih menyelimuti pandanganku, langit-langit kamar, segala ruang dan penjuru. Aku memang tak bisa tidur tanpa kegelapan.

Dengan malas aku menjulurkan tanganku mencoba meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

“33 messages received”

“Astaga!”Aku terkesiap tanpa mampu menyembunyikan keterkejutanku andai saja kegelapan tak membalut wajahku. Aku mengucek mataku berkali-kali kendati tak cukup berguna untuk merubah tulisan yang tertera di layar ponselku. Benar-benar angka menakjubkan yang melampaui jumlah kehadiranku di kuliah selama satu tahun. Angka yang sama dengan jumlah butiran tasbih kristal yang aku hadiahkan pada temanku di hari ulang tahunnya.

Aku menarik tubuhku ke belakang dan menyandarkannya di dinding yang kusam. Kubaca satu persatu pesan yang masuk.

Seketika aku merasa arus sungai berbalik arah, ada setitik haru yang menembus kisi-kisi hatiku. Menerobos masuk sampai pada emosi yang terdalam. Aku tersenyum melihat pesan-pesan yang berisi ucapan selamat ulang tahun bernada doa dan asa dari orang-orang yang kukenal.

“Alamak!Seharusnya aku menyadari sejak kemarin kalau hari ini adalah hari ulang tahunku”. Sedari dulu aku memang tak pernah merayakannya sekalipun, terkadang melupakan bahkan tak mempedulikannya. Dan aku tahu kalau orang-orang pun tak pernah peduli. Padahal kalau dari dulu aku dan orang-orang mengingatnya, maka aku akan menganggapnya sebagai anugerah. Aku berpikir sebaiknya aku merayakanya kali ini walau dengan cara yang sangat sederhana sekalipun, tanpa jamuan pesta yang sarat dengan hidangan. Ya, Setidaknya untuk dapat menyadarkan dunia akan keberadaanku.

Aku menemukan seonggok kekuatan yang mampu membuatku bangkit dan mengusir sisa kantuk dari tubuh. Lalu dengan sekelumit paksaan aku melangkah menghampiri pintu kamar yang menghadap langsung ke pemandangan kota dengan taburan lampu terakota yang menjajari trotoar.

Di sudut jauh terlihat sebuah arsitektur mini dengan empat kaki membentuk pyramida. Aku mengenalnya sebagai tempat peristirahatan sesosok pahlawan yang pernah menjadi orang nomor satu negeri ini, walaupun tak sedikit dari mereka yang menuduhnya sebagai orang tak berguna karena sebuah pengkhianatan. “Mungkin ini hanya bias temperamen semata.” pikirku dalam hati.

Seketika aku teringat orang seorang pribumi saat menyebut nama lain dari kota ini.

“Kota kematian”katanya padaku lirih.

“Mengapa?”tanyaku heran sembari mengernyitkan dahi.

“Kau tahu pyramid adalah symbol kebanggaan kota ini, bukankah itu berarti kuburan para raja agung. Maka ketika mereka membanggakannya, sama artinya dengan membanggakan kematian. Semestinya kau juga menyadari makna dari kuburan orang-orang shaleh yang sedang kau ziarahi”jelasnya lugas berbuntut satu pertanyaan yang pastinya akan kubalas dengan pertanyaan klise.

“Jadi, sebaiknya jangan kau jadikan kota ini sebagai kuburan masadepanmu”tuturnya mengingatkanku sambil tersenyum dan melangkah pergi.

02.00 : 26.09.2007.

Aku masih termenung bersandar pada bingkai pintu kayu dengan tatapan kosong. Tubuhku masih di sini bermandikan cahaya bulan sampai ke lutut. Tapi anganku sudah lama melayang jauh seakan ditembakkan dari moncong senapan ke dinding masa lalu.

Momen ini membuatku teringat dan memikirkan diri sendiri di masa lalu, hari ini dan masa depan. Mengurai setiap gumpalan memori, asa dan harapan yang mengendap.

Sudah lepas empat belas tahun sejak aku terdampar jauh dari kampungku. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian dan kerinduan orang tua. Tapi rasanya baru kemarin aku dilahirkan. Waktu memang tak pernah mengingatkan kita akan lajunya andai saja kita tak cukup mawas diri untuk selalu mengingatnya. Selalu saja ada penyesalan yang kian hari kian menggunung untuk kesempatan-kesempatan yang terlewatkan dengan kehampaan. Guruku bahkan mendaulatnya sebagai keniscayaan.

Ingatanku berkelebat pada dua sosok wajah yang paling yang paling aku hargai, tiba-tiba aku merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masadepan kepadaku. Pastinya akan terdengar sangat ironis jika aku menjadi sia-sia bagai kutu pohon yang hidup tanpa menawarkan apapun selain hibernasi abadi. Bagaimanapun aku pasti pulang dan mereka akan mengejarku untuk meminta pertanggungjawaban. “Ah, kenapa berpikir terlalu jauh, bukankah kita selalu dituntut untuk berpikir realistis dengan membuang jauh-jauh segala penyesalan masa lalu dan ketakutan masa depan?”sergahku mencoba menghibur diri walau aku menangkap makna kata-kataku semakin kosong.

03.10 : 26.09.2007

Ingatanku terus membumbung menguap melewati atap berbaur bersama angin beraroma fajar. Sementara aku duduk bersandar dengan kaki terjulur menikmati sisa-sisa sepoi angin malam yang mendesiri sekujur tubuhku. Mengikis sedikit demi sedikit kesadaran sampai setipis kulit bawang lalu menyerpih dan tergilas mimpi-mimpi yang berkelebat saat mataku terpejam.

Tiba-tiba dalam keremangan aku melihat seorang perempuan seperti bayangan dengan pesona fisik yang menumbuhkan hasrat pada lelaki dan kecemburuan pada wanita. Batinku terseret pada kekaguman agung. Aku membiarkan mataku mengembara seolah menjelajahi seluruh permukaan aoratnya dengan mata.

Ia menghampiriku dengan tangan melingkar pada sebuah kotak terbungkus berhias pita di pangkuannya.

“Kau Ikbal kan?”tanyanya lirih sembari berlutut di depanku. Aku mengangguk tanpa ada satu ucapanpun meluncur dari bibirku. Aku terpana dan berusaha menahan perasaan yang dibakar gairah. Membendung hasrat yang siap menghambur menjadi ribuan emosi.

“Aku membawa sesuatu untukmu, kado ulangtahun”lanjutnya sambil mengulurkan tangannya seraya menyerahkan kotak yang ada dipangkuannya.

“Kau siapa?”tanyaku memasang muka penuh tandatanya.

“Namaku Ilusi. Panggil saja aku Lusi”sahutnya dengan suara lembut setengah berbisik.

“Kenapa kau lakukan semua ini?”tanyaku pada perempuan itu.

“Karena aku ingin kamu bahagia”serunya sembari menebar senyuman yang membuai jagat.

“Sebaiknya kau buka kadonya”lanjutnya cepat sebelum aku sempat bertanya lagi seolah ia tahu apa yang ada dibenakku.

Aku membukanya dan terpana menemukan 4 ornamen antik tersusun rapih pada rak mini berlapis kain bludru merah. Di kedua sisi aku melihat buku agenda berseberangan dengan sebuah cermin berbingkai kuno. Mengapit jam kalung dan kompas unik yang memisahkan keduanya. Mataku lekat memandangi satu persatu seluruh ornamen yang mirip fatamorgana yang berpendar keemasan dengan perasaan takjub.

“Aku rasa kau cukup cerdas untuk mengerti semuanya”serunya sambil beranjak pergi, tubuhnya menipis bagai kabut dan mencercah seperti kaca lalu lenyap. Aku mengantar kepergiannya dengan kepasrahan bisu seperti nakhoda yang menyaksikan kapalnya karam membawa seluruh kekayaan ke dasar laut.

“Astaga!” aku terperanjat mematung menatap cermin yang kosong tanpa bayangan. Betapa mengerikan membayangkan kenyataan bahwa aku tak bisa melihat diriku sendiri. Kesejatian seorang manusia.

Matahari mulai menabur senyum hangatnya saat aku terjaga dengan setetes harapan.

Kasus Kemanusiaan dalam Pemikiran Agama dan Filsafat

Judul buku : Qodloya Insaniyah fi al-Fikri al-Dini wa al-Falsafi*
Penulis : Dr Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar
Cetakan : Maktabah Shafa, Kairo Tahun 2000
Tebal : 223 halaman

Wacana tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sampai kini masih terus menarik diperbincangkan, terlebih jika diskursus itu masuk wilayah agama. Mungkin ini disebabkan oleh sensitivitas yang dimiliki para pemeluk agama. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir. Hak tersebut tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Pemikiran dan pandangan mengenai HAM dan pelaksanaannya dalam kehidupan sosial tidak pernah berhenti digulirkan.
Bagaimanapun juga, tidak bisa disangkal bahwa kehidupan masyarakat dunia dewasa ini dicekam oleh masalah sosial yang tak terbilang banyaknya. Perilaku diskriminatif dan merambahnya pelangaran HAM yang membuat manusia tidak lagi mendapat penghargaan yang layak pada kodratnya sebagai manusia mendorong Dr Muhammad Ahmad Musayyar menghadirkan buku Qodloya Insaniyyah fi al-Fikri al- Dini wa al-Falsafi.
Buku ini memberi tinjauan yang cukup komprehensif tentang wacana kemanusiaan perspektif Islam. Pada awalnya buku ini merupakan refleksi dan antitesis dalam menyikapi berbagai gagasan-gagasan filsafat dan isu-isu sosial yang sangat mendiskreditkan manusia dan memposisikannya pada martabat yang tidak selayaknya. Gagasan-gagasan dalam buku ini setidaknya kembali ingin mempertanyakan kedudukan manusia sebagai makhluk tuhan yang paling mulia.
Untuk menjawab kemungkinan permasalahan tersebut, penulis Dr Muhammad Ahmad Musayyar, satu-satunya dosen Aqidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar yang masih berkomitmen untuk mengenakan jubah kebesaran Al-Azhar ini menyajikan bukunya beberapa bagian yang memberikan gambaran umum konseptual kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia.
Setiap bagian dalam buku ini dilengkapi tanggapan penulis dengan menggunakan piranti analisa yang bersumber dari ajaran resmi agama Islam yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma’, Qiyas dan argumen-argumen rasional yang berdasarkan kaidah-kaidah ilmu logika.
Pada bagian pertama, penulis mengajak kita untuk flashback, mengulas kembali hakikat dan proses penciptaan manusia pertama “Adam” perspektif Al-Quran dan Al-Hadis dan menegaskan betapa Islam sangat menghargai manusia dan menjunjung tinggi HAM melebihi penghargaan agama atau sekte-sekte pemikiran filsafat yang lain. Selanjutnya penulis menyuguhkan permasalahan gender dengan memaparkan proses penciptaan Hawa sebagai pendamping Adam yang setia. Permasalahan yang juga menimbulkan isu-isu ketidak adilan dan memunculkan tuduhan negatif bahwa Islam mendiskreditkan kaum hawa bahkan cenderung diskriminatif.
Kemudian pada bagian selanjutnya penulis melancarkan kritik keras terhadap para filosof dan pemikir sehubungan dengan teori-teori filsafat dan gagasan pemikiran keagamaan mereka yang berseberangan dengan ajaran Islam. Semisal teori evolusi Darwin, teori fase perkembangan pemikiran dan akidah manusia yang dicetuskan oleh August Conte dan Gustav Lobon sampai pada buku karangan Dr Abdu al- Shabur Syahin yang menganggap manusia sebagai salahsatu dari sekian banyak proyek khilafah di muka bumi ini.
Setelah itu, pada bagian ketiga penulis mengantarkan kita pada uraian hak asasi manusia perspektif pemikiran keagamaan dan filsafat barat dengan mengkomparasikan antara ketiga agama Islam, Yahudi, Nasrani dan para filosof baik muslim maupun non muslim.
Pada kerangka pemikiran keagamaan barat penulis menawarkan anda untuk menyingkap perilaku ekspansionis dan diskriminatif Israel terhadap masyarakat dunia dengan berdasarkan pada deklarasi dokumen-dokumen resmi rahasia Zionis dunia. Juga mengajak anda untuk mengungkap ajaran gereja yang melanggar hak-hak asasi manusia.
Sedangkan pada kerangka pemikiran filsafat barat, giliran tiga filosof Plato, Friedrich Nietzsche dan John Jack Rousso mendapat tamparan keras dari penulis disebabkan pemikiran dan teori-teori sosial mereka yang dianggap menyimpang dari semangat menjunjung tinggi HAM.
Dan pada bagian terakhir penulis membubuhkan poin-poin hasil deklarasi internasional dan seminar internasional HAM termasuk didalamnya ketetapan-ketetapan Al-Azhar sebagai cermin kontribusi Islam untuk menjunjung tinggi HAM dan perdamaian.
*Sebuah buku yang dijadikan sebagai kurikulum tingkat III Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah dan Filsafat tahun ajaran 2004-2005

Hukum Ringkas Zakat Fitrah

Oleh : Abdullah Abdulkarim Lc,

Di sini saya akan mencoba memaparkan apa itu Zakat Fitrah dan hukumnya. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang dikenakan kewajiban zakat fitrah, besarannya, waktu pembayarannya, dan kepada siapa zakat fitrah dibagikan.

Ta’rif dan Hukumnya •

Zakat atau sedekah fitrah adalah zakat yang disebabkan datangnya Idul Fitri setelah Ramadhan. Diwajibkan pada tahun kedua hijriyah –bersamaan dengan kewajiban puasa– dan berbeda dengan zakat-zakat yang lainnya karena zakat ini wajib atas setiap orang, bukan atas kekayaan. • Jumhurul ulama bersepakat bahwa zakat fitrah itu hukumnya wajib, seperti dalam hadits Ibnu Umar bahwa, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan satu sha’ kurma dan gandum atas setiap orang merdeka atau budak sahaya, laki-laki dan wanita umat Islam ini.” (Al-Jama’ah). Demikianlah pendapat empat madzhab. • Rasulullah saw. telah menjelaskan hikmah zakat fitrah, yaitu sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia yang sangat sulit dihindari saat sedang berpuasa. Zakat fitrah juga menjadi makanan fakir miskin pada Hari Raya sehingga mereka semua dapat merayakan Idul Fitri dengan senang dan bahagia.

Siapa yang diwajibkan? •

Zakat ini diwajibkan kepada setiap muslim, baik merdeka atau budak, laki-laki atau wanita, besar atau kecil, kaya atau miskin. Seorang laki-laki mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang isteri mengeluarkan zakat untuk dirinya atau oleh suaminya. Tidak wajib dibayarkan untuk bayi yang masih dalam kandungan, meskipun disunnahkan menurut Ahmad bin Hanbal. • Jumhurul ulama mensyaratkan zakat itu kepada seorang muslim yang memiliki kelebihan makanan pada Hari Ied itu sebesar zakat fitrah yang menjadi kewajibannya. Hutang yang belum jatuh tempo tidak boleh menggeser kewajiban zakat, berbeda dengan hutang yang sudah jatuh tempo (yang harus dibayar seketika itu).

Besar Zakat Fitrah •

Tiga ulama (Malik, Syafi’i, dan Ahmad) telah bersepakat bersama jumhurul ulama bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Seperti yang ada dalam hadits di atas juga hadits Abu Said Al-Khudri, “Kami pernah membayar zakat fitrah dan Rasulullah saw. bersama kami, berupa satu sha’ makanan, atau kurma, atau gandum. Seperti itu kami membayar zakat, sampai di zaman Muawiyah datang di Madinah yang mengatakan, ‘Sekarang saya berpendapat bahwa dua mud gandum Syam itu sama dengan satu sha’ kurma.’ Lalu pendapat ini dipakai kaum muslimin saat itu.” (Al-Jama’ah). Madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ dari semua jenis makanan. • Satu sha’ adalah empat sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar atau empat mud. Karena satu mud itu juga sebesar sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar, jika dikonversi sekitar 2.176 gr. • Zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok mayoritas penduduk di suatu negeri, atau dari mayoritas makanan pokok muzakki jika lebih baik dari pada makanan pokok negeri mustahik. Demikianlah pendapat jumhurul ulama. • Diperbolehkan membayar dengan nilai uang satu sha’ jika lebih bermanfaat bagi fakir miskin. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, yang diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Al Bashri, pendapat yang lebih mudah dikerjakan pada masa sekarang ini.

Waktu Membayarkannya •

Zakat fitrah wajib dibayar oleh orang yang bertemu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Ini menurut madzhab Syafi’i. Atau yang bertemu dengan terbit fajar Hari Ied, menurut madzhab Hanafi dan Maliki. • Wajib mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Ied, seperti dalam hadits Ibnu Abbas. Diperbolehkan membayarnya lebih awal sejak masuk bulan Ramadhan, menurut madzhab Syafi’i. Dan yang utama mengakhirkannya satu atau dua hari menjelang Iedul Fitri. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki. Diperbolehkan mendahulukannya sampai awal tahun menurut madzhab Hanafi, beralasan bahwa namanya tetap zakat. Dan menurut madzhab Hanbali diperbolehkan mensegerakannya mulai dari separuh kedua bulan Ramadhan.

Kepada Siapa Zakat Ini Dibagikan? •

Para ulama bersepakat bahwa zakat fitrah ini dibagikan kepada fakir miskin kaum muslimin. Abu Hanifah memperbolehkan pembagianya kepada fakir miskin ahli dzimmah (orang kafir yang hidup di dalam perlindungan pemerintahan Islam). • Prinsipnya bahwa zakat fitrah itu diwajibkan untuk dibagkan kepada fakir miskin, sehingga tidak diberikan kepada delapan ashnaf lainnya. Kecuali jika ada kemaslahatan atau kebutuhan lain. Zakat ini juga hanya dibagikan di negeri zakat itu diambil, kecuali jika di negeri itu tidak ada fakir miskin, diperbolehkan untuk memindahkannya ke negara lain. • Zakat fitrah tidak boleh dibagikan kepada orang yang tidak boleh menerima zakat mal seperti orang murtad, fasik yang mengganggu kaum muslimin, anak, orang tua, atau isteri.

Broker/Pemakelaran ( Samsaroh ) dalam Islam

oleh : Abdullah Abdulkarim Lc.

Berikut ini adalah beberapa kesimpulan penting dari hukum pemakelaran berdasarkan keterangan ulama fikih mengenai permasalahan ini.

Pertama, definisi dan rukun samsarah.

Samsaroh adalah kosakata bahasa Persia yang telah diadopsi menjadi bahasa Arab yang berarti sebuah profesi dalam menengahi dua kepentingan atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik berupa upah (ujroh) atau bonus, komisi(ji’âlah) dalam menyelesaikan suatu transaksi. Adapun Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain sebagai penengah dengan kompensasi (upah atau bonus), baik untuk menjual maupun membeli.

Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal sebagai sinonimnya, seraya menyatakan:

Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: dalalta – dengan masdar yang difathahkan dal-nya, dalâlat(an), dikasrahkan dal-nya, dilâlat(an), atau didhammahkan dalnya, dulâlat(an) – jika anda menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang tersebut adalah simsar atau dallâl (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual).

Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa rukun samsaroh terdiri dari al- muta’âqidâni ( makelar dan pemilik harta ), mahall al-ta’âqud ( jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi) dan al-shîgat (lafadz atau sesuatu yang menunjukan keridhoan atas transaksi pemakelaran tersebut).

Kedua, hukum syara’ seputar samsaroh

Secara umum, hukum samsaroh adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsâr, makelar), kemudian Rasulullah SAW. Keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para tujjâr (bentuk plural dari tâjir, pedagang), sesungguhnya jual-beli ini selalu dihinggapi sesumpah dan kelalaian (kebohongan), maka bersihkan dengan sedekah.”

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW tidak mencakup Multi Level Marketing MLM) dengan system makelar di atas makelar atau samsarah ‘ala samsarah , sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Sarkhasi ketika mengemukakan hadits ini :

Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (mâlik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (wasîth). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (wasîth al wasîth), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar.

Ketiga, syarat-syarat yang berhubungan dengan pemakelaran.

Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah ‘aqdu ijâroh atau atau dengan komisi ‘aqdu ji’âlah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum ‘aqad atau transaksi menurut aturan fikih islam,

Syarat-syarat umum tersebut transaksi dapat diterapkan pada al-’âqidâni (penjual dan pembeli) dan al-shîgat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyîz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-‘âqidâni, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggungjawab atas transaksi.

Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta’âqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyrû’) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma’lûm).

Keempat, praktik pemakelaran dengan cara ‘aqdu ijâroh

Seorang makelar berhak mendapatkan kompensasi berupa upah jika telah menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan padanya dan ‘aqd ijâroh yang telah disepakati sah menurut hokum. Dan kompensasi seorang makelar merupakan beban pihak pertama atau pemilik, kecuali jika ada klausul tertentu atau adat yang bertentangan dengan hal tersebut.

Jika terjadi cacat pada akad yang berakibat pada batalnya akad tersebut, apabila makelar mengetahuinya maka dia tidak berhak mendapatkan kompensasi, tapi apabila dia tidak mengetahuinya maka dia berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan ketentuan. Dan jika makelar menjual dengan harga melebihi harga yang ditentukan maka uang lebih menjadi hak pemilik harta atau pihak pertama dan si makelar tidak mendapatkan apa-apa kecuali upah yang telah ditentukan. Sedangkan pada jual beli murôbahah, hitungan upah yang diterima makelar mengacu dan disesuaikan dengan adat yang berlaku.

Barang hilang atau rusak tidak menjadi tanggungjawab makelar jika ia merupakan makelar tunggal ajîr khâs dan menjadi tanggungjawab jika ia merupakan makelar kolektif ajîr musytarik.

Demikian beberapa kesimpulan mengenai pemakelaran berdasarkan pada aturan fikih islam.

Kitab Jurmiyyah

Oleh : Abdullah Abdulkarim Lc.

Biography Pengarang

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Al-Shinhâji, dengan mengkasrahkan shod , bukan dengan memfathahkannya seperti yang sering disebutkan oleh sebagian kalangan. Kalimat Al-Shinhâji ini seperti yang diriwayatkan oleh Al-Hamîdi dinisbatkan kepada salah satu kabilah yang berada di Negeri Maroko yaitu kabilah Shinhâjah.Nama ini kemudian dikenal sebagai Ibnu Âjurrûm.

Kata Âjurrûm menurut Ibnu ‘Imad Al-Hanbaly dalam kitab Syadzarât al-Dzahab formulasinya dengan memfathahkan alif mamdûdah, mendhommahkan huruf jim dan mentasydidkan huruf ro’.

Syeikh Shalih Al-Asmary telah menyebutkan dalam kitabnya Îdhôh Al-Muqaddimah Al-Âjurrûmiyyah, bahwa kata Âjurrûm ini setidaknya memiliki lima aksen yang berbeda dalam memformulasikan kelima huruf hijaiyah ini.

Pertama, riwayat Ibnu ‘Anqô’ yang dikuatkan oleh Imam Suyuthi dalam Bughyat al-Wu’ât yaitu dengan memfathahkan alif mamdûdah, mendhommahkan huruf jim dan mentasydidkan huruf ro’, dibaca Âjurrûm.

Kedua, aksen yang diriwayatkan dari al-Jamal al-Muthoyyib yaitu dengan memfathahkan huruf jim, jadi dibaca Âjarrûm.

Ketiga, pendapat yang dinukil oleh Ibnu Âjurrûm sendiri yang ditulis oleh Ibnu al-Hajjaj dalam kitab al-Aqdu al-Jauhary dengan formulasi hamzah tanpa dipanjangkan yang difatahkan, huruf jim yang disukunkan dan huruf ro’ tanpa syiddah jadi dibaca Ajrûm.

Keempat, Aksen yang ditulis oleh Ibnu Maktum dalam Tadzkirohnya yaitu Akrûm, bukan dengan huruf jim melainkan dengan huruf kaf.

Kelima, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Anqô’ bahwa banyak orang membacanya dengan menghapus hamzahnya sehingga dibaca Jurrûm.

Kata Âjurrûm ini, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Anqô’ dan dikuatkan oleh Imam Shuyuthi dan Ibnu al-Hâj berasal dari bahasa Barbarian, – sebuah bangsa yang mayoritas kabilahnya menempati pegunungan di wilayah Afrika bagian selatan – yang berarti al-Faqîr al-Shûfy.

Ibnu Âjurrûm dialhirkan di kota Fasa, -sebuah kota besar di Negara Maroko – pada tahun 672 H yaitu tahun wafatnya Imam Malik dan wafat di kota itu hari Senin ba’da Dzuhur tanggal 20 Shafar Tahun 723 H.

Beliau menimba ilmu di Fasa, kampung halamannya, hingga pada suatu hari beliau bermaksud untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ketika melewati Mesir, beliau singgah di Kairo dan menuntut ilmu kepada seorang ulama nahwu termasyhur asal Andalusia, yaitu Abû Hayyân pengarang kitab al-Bahru al-Muhith sampai mendapat restu untuk mengajar dan dinobatkan sebagai salahsatu imam dalam ilmu gramatikal bahasa arab atau ilmu nahwu.

Selain terkenal sebagai ulama nahwu, beliau juga terkenal sebagai ahli fikih, sastrawan dan ahli matematika, di samping itu beliau menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid. Karya yang dipersembahkannya berupa kitab-kitab yang ia karang dalam bentuk arjuzah, bait-bait nadzam dalam ilmu qiro’at dan lain sebagainya. Dua diantara karyanya yang terkenal adalah kitab Farâ’id al-Ma’âni fî Syarhi Hirzi al-Amâni dan kitab ini Al-Muqaddimah Al-Âjurrûmiyyah.

Identitas Kitab

Pengarang kitab ini yang tidak lain adalah Ibnu Ajurrum tidak memberikan nama khusus untuk kitabnya. Dalam penamaannya kitab ini dikenal dengan nama yang dinisbatkan kepada pengarangnya, sehingga kitab ini dikenal dengan nama al-Âjurrûmiyyah atau al-Jurmiyyah. Sebagaimana tatacara penisbatan dalam gramatikal bahasa arab bahwa murokkab idhofi atau kata kompleks yang disandarkan seperti kata Ibnu Âjurrûm pada bab nisbat biasanya dihapus awal katanya dan dinisbatkan pada kata kedua.(lihat Alfiah Ibnu Malik, Bab Nasab bait 870-871).

Kitab ini dikenal juga dengan nama Al-Muqaddimah Al-Âjurrûmiyyah atau Muqaddimah Ibnu Âjurrûm.Dinamakan Muqaddimah karena bentuk karangannya adalah muqaddimah atau dalam bahasa indonesianya bentuk karangan prosa bukan berupa bait-bait nadzam.

Selain tidak memberi nama khusus pada kitabnya, Ibnu Ajurrum juga tidak menyebutkan kapan kitab ini dikarang sehingga para penulis biography tidak mengetahui secara pasti kapan kitab ini disusun. Hanya saja Ibnu Maktum yang sejaman dengan Ibnu Ajurrum dalam Tadzkirahnya menyebutkan bahwa kitab itu dikarang sekita tahun 719 H.

Adapun tempat penulisan kitab ini, Al-Râ’i, Ibnu al-Hâj dan al-Hamîdy meriwayatkan bahwa Ibnu Ajurrum mengarang kitab ini sepanjang perjalanan beliau menuju Makkah.

Metode penulisannya terfokus pada judul-judul besar ilmu nahwu dan pembahasan-pembahasan pokok, sehingga kitab ini dikenal sebagai kitab yang ringkas dan padat. Imam Suyuthy dalam Bughyat al-Wu’ât menyebutkan bahwa Ibnu Ajurrum berkiblat pada ulama Kufah dalam karangan nahwunya. Hal ini dibuktikan dalam pembahasan asma’ al-khamsah yang merupakan pendapat ulama Kufah, sedang ulama Bashrah menambahkannya menjadi asma’ al-sittah. Hal lain yang mengindikasikan ke-Kufah-annya adalah dengan memasukan “kaifama” dalam jawazim , adalah hal yang ditentang oleh ulama Bashrah.

Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat besar baik dari kalangan para ulama maupun para murid. Bentuk apresiasi ini terlihat dari munculnya para ulama yang menciptakan bait-bait nadzam, syarah dan komentar dari kitab ini.

Pengarang kitab Kasyfu al-Dzunûn menyebutkan bahwa diperkirakan lebih dari sepuluh kitab yang menjadi nadzam, syarah, dan komentar dari kitab ini.

Diantara yang menciptakan bait-bait nadzam dari kitab ini adalah Abdul Salam al-Nabrâwy, Ibrahim al-Riyâhy, ‘Alâ al-Dîn al-Alûsy dan yang paling terkenal adalah kitab Matnu al-Durrah al-Bahiyyah karangan Syarafuddin Yahya al-‘Imrîthy.

Adapun kitab-kitab yang menjadi syarah kitab ini diantaranya adalah,

  1. Kitab al-mustaqill bi al-mafhumiyyah fi Syarhi Alfadzi al-Âjurrûmiyyah yang dikarang oleh Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliky yang dikenal sebagai al-Ra’î al-Andalusy al-Nahwy al-Maghriby.
  2. Kitab al-Durrah al-Nahwiyyah fî Syarhi al-Âjurrûmiyyah karangan Muhammad bin Muhammad Abi Ya’lâ al-Husainy al-Nahwy.
  3. Kitab al-Jawâhir al-Mudhiyyah fî halli Alfâdz al-Âjurrûmiyyah karangan Ahmad bin Muhammad bin Abdul Salam.
  4. Kitab al-Nukhbah al-‘Arabiyyah fî halli Alfâdz al-Âjurrûmiyyah karangan Ahmad bin Muhammad bin Abdul Salam.
  5. Kitab al-Duror al-Mudhiyyah karangan Abu Hasan Muhammad bin ‘Ali al-Maliky al-Syâdily.
  6. Kitab al-Kawâkib al-Dhauiyyah fî halli Alfâdz al-Âjurrûmiyyah karangan Syeikh Syamsuddin Abil Azam Muhammad bin Muhammad al-Halâwy al-Muqoddasy.
  7. Kitab al-Jawâhir al-Sunniyyah fî Syarhi al-Muqaddimah al-Âjurrûmiyyah karangan Syeikh Abu Muhammad Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ubaid bin Syeikh Abul Fadly bin Muhammad bin Ubaidillah al-Fâsy
  8. Kitab Syarhu al-Syeikh Khalid al-Azhary ‘alâ Matni al-Âjurrûmiyyah.
  9. Kitab Syarhu al-Syeikh Yazîd Abdurrahman bin Ali al-Makûdiy al-Nahwy.
  10. Kitab Al-Tuhfah al-Sunniyyah karangan Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdulhamid.
  11. Kitab Syarah milik Syeikh Hasan al-Kafrawy al-Syafi’î al-Azhary
  12. Kitab Hâsyiat al-Âjurrûmiyyah karangan Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Najdy.
  13. Kitab Îdhôh al-Muqaddimah al-Âjurrûmiyyah karangan Syeikh Shalih bin Muhammad bin Hasan al-Asmary.
  14. 14. Kitab Al-Ta’lîqât al-Jaliyyah ‘alâ Syarhi al-Muqaddimah al-Âjurrûmiyyah karangan Muhammad Shalih al-‘Utsaimîn.

Al-hamidy dalam hasyiahnya menceritakan bahwa Ibnu Ajurrum setelah selesai mengarang kitab ini, beliau melemparkan kitabnya ke laut dan berkata : “Jika kitab ini murni karena mengharap ridha Allah maka ia tidak akan basah”, dan kitab itu tetap kering. Wallahu a’Lam