Tuesday, July 14, 2009

Broker/Pemakelaran ( Samsaroh ) dalam Islam

oleh : Abdullah Abdulkarim Lc.

Berikut ini adalah beberapa kesimpulan penting dari hukum pemakelaran berdasarkan keterangan ulama fikih mengenai permasalahan ini.

Pertama, definisi dan rukun samsarah.

Samsaroh adalah kosakata bahasa Persia yang telah diadopsi menjadi bahasa Arab yang berarti sebuah profesi dalam menengahi dua kepentingan atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik berupa upah (ujroh) atau bonus, komisi(ji’âlah) dalam menyelesaikan suatu transaksi. Adapun Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain sebagai penengah dengan kompensasi (upah atau bonus), baik untuk menjual maupun membeli.

Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal sebagai sinonimnya, seraya menyatakan:

Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: dalalta – dengan masdar yang difathahkan dal-nya, dalâlat(an), dikasrahkan dal-nya, dilâlat(an), atau didhammahkan dalnya, dulâlat(an) – jika anda menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang tersebut adalah simsar atau dallâl (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual).

Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa rukun samsaroh terdiri dari al- muta’âqidâni ( makelar dan pemilik harta ), mahall al-ta’âqud ( jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi) dan al-shîgat (lafadz atau sesuatu yang menunjukan keridhoan atas transaksi pemakelaran tersebut).

Kedua, hukum syara’ seputar samsaroh

Secara umum, hukum samsaroh adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsâr, makelar), kemudian Rasulullah SAW. Keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para tujjâr (bentuk plural dari tâjir, pedagang), sesungguhnya jual-beli ini selalu dihinggapi sesumpah dan kelalaian (kebohongan), maka bersihkan dengan sedekah.”

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW tidak mencakup Multi Level Marketing MLM) dengan system makelar di atas makelar atau samsarah ‘ala samsarah , sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Sarkhasi ketika mengemukakan hadits ini :

Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (mâlik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (wasîth). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (wasîth al wasîth), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar.

Ketiga, syarat-syarat yang berhubungan dengan pemakelaran.

Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah ‘aqdu ijâroh atau atau dengan komisi ‘aqdu ji’âlah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum ‘aqad atau transaksi menurut aturan fikih islam,

Syarat-syarat umum tersebut transaksi dapat diterapkan pada al-’âqidâni (penjual dan pembeli) dan al-shîgat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyîz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-‘âqidâni, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggungjawab atas transaksi.

Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta’âqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyrû’) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma’lûm).

Keempat, praktik pemakelaran dengan cara ‘aqdu ijâroh

Seorang makelar berhak mendapatkan kompensasi berupa upah jika telah menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan padanya dan ‘aqd ijâroh yang telah disepakati sah menurut hokum. Dan kompensasi seorang makelar merupakan beban pihak pertama atau pemilik, kecuali jika ada klausul tertentu atau adat yang bertentangan dengan hal tersebut.

Jika terjadi cacat pada akad yang berakibat pada batalnya akad tersebut, apabila makelar mengetahuinya maka dia tidak berhak mendapatkan kompensasi, tapi apabila dia tidak mengetahuinya maka dia berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan ketentuan. Dan jika makelar menjual dengan harga melebihi harga yang ditentukan maka uang lebih menjadi hak pemilik harta atau pihak pertama dan si makelar tidak mendapatkan apa-apa kecuali upah yang telah ditentukan. Sedangkan pada jual beli murôbahah, hitungan upah yang diterima makelar mengacu dan disesuaikan dengan adat yang berlaku.

Barang hilang atau rusak tidak menjadi tanggungjawab makelar jika ia merupakan makelar tunggal ajîr khâs dan menjadi tanggungjawab jika ia merupakan makelar kolektif ajîr musytarik.

Demikian beberapa kesimpulan mengenai pemakelaran berdasarkan pada aturan fikih islam.

No comments:

Post a Comment