Tuesday, July 14, 2009

“Kado Ulang Tahun”

22.14 : 25.09.2007.

Ini adalah malam yang langka dari sekian banyak malam yang tak kukenal namanya. Rasa kantuk datang begitu tiba-tiba kendati malam belum begitu larut. Sebuah sensasi premature yang aneh untuk seorang pencinta malam sepertiku dan teman-temanku yang biasa melewatkan malam dengan duduk bermain kartu sambil mengobrol dan tertawa-tawa atau nonton sambil menghisap rokok dan menikmati cangkir-cangkir kopi berisi teh manis pekat yang khas atau hanya duduk serius di depan computer sambil mengotak-atik mouse, keyboard atau twin joystick dengan suara yang merobek seluruh ruangan. Atau sesekali mengisinya dengan ketololan-ketololan lain yang akan membuat tertidur hanya karena paksaan fisik. Mulai lelap saat subuh datang atau matahari menjelang dan berakibat bangun siang bahkan petang. Lalu kuhabiskan siang hari di kerajaan mimpi untuk bersembunyi dari matahari. Apalagi musim panas sepertinya belum berniat untuk pergi sementara musim dingin masih malu-malu untuk unjuk diri.

Ketika kejernihan kembali bernaung dalam nurani, maka aku akan menyesalinya. Ya..menyesali kehidupan yang jauh dari kewajaran sehari-hari. Tanpa agenda untuk mengatur kegiatan. Tanpa jam sebagai penunjuk waktu sehingga terlalu banyak waktu yang terlewatkan untuk sesuatu yang tak semestinya. Dan aku telah kehilangan kompas menuju masadepan. Membuat alur hidupku terseok-seok tanpa arah di jalan kehidupan yang panjang.

Sebenarnya aku sangat menyadari bahwa penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk menempatkan diri pada tempatnya. “Bukankah seharusnya aku dapat menanamkan lebih banyak kemanisan untuk esok hari?”. Ini adalah pertanyaanku pada diri sendiri. Sebuah pertanyaan yang selalu terulang tanpa kujawab. Percuma saja, karena jawabannya tetap saja akan terdengar naïf. Sebab aku tak pernah menyaksikan pada realitanya kecuali kenihilan.

22.33 : 25.09.2007

Malam baru mulai meninggi di kota ini, padahal matahari telah beranjak cukup lama dari kaki cakrawala. Kulihat langit terang dengan semburan cahaya bulan yang hampir sempurna, barangkali esok ia akan muncul sebagai purnama. Ya, ini adalah hari ketigabelas bulan ke sembilan dari tahun Hijriyah.

Orang-orang di kota ini akan merengek lapar saat dunia terang lalu menggelepar kehausan saat matahari menggarang di puncak ubun-ubun. Karena mereka biasanya mempercepat sarapan mereka saat malam mulai renta sebelum fajar tiba. Kemudian menggelar dan menyantap hidangan makan siang mereka saat ufuk merah matahari bersembunyi di belakang kota bersama senja yang menggelap dan kehilangan warna jingganya, sehingga tak ada jamuan makan dengan kehadiran sang surya. Mereka harus mematuhinya, sebab kalau tidak, maka berbagai cacian akan mendarat di sekujur tubuh dan mereka menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap tuhan.

Sejurus kemudian seluruh panca inderaku telah dirasuki hasrat tak tertahan yang memaksaku untuk masuk ke peraduan. Tapi aku merasa terlalu dini untuk bermimpi sambil berpeluk cium dengan bantal gulingku yang mulai keriput. Sementara gelak tawa, gaduh obrolan teman-temanku dan nada musik yang yang menggaung kuat masih memenuhi udara di ruang tamu, menembus kamar-kamar tidur, dapur, sampai ke kamar mandi.

“Ah, bukankah aku tak pernah peduli dengan apa yang mereka lakukan dan begitu pula sebaliknya?”Begitu gumamku dalam hati.

“Tidak, aku bahkan sangat peduli”sergahku kembali. “Persetan, lagipula aku tak pernah merasa terusik, tidak pula mereka”aku berpikir diam-diam menepis berbagai prasangka.

Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju kamarku dengan langkah lesu selesu hati dan isi dompetku dan aku menobatkan kondisi ini sebagai kesialan untuk kesekian kalinya di tahun yang sama.

Kurasakan suhu dalam ruangan mendadak anjlok menawarkan aroma bius yang memiliki daya lebih kuat dari sekedar kehendak untuk melarutkan diri dalam ketidaksadaran. Aku meletakkan ponselku di atas meja dan merebahkan tubuhku di atas pembaringan tanpa ranjang. Tatapanku perlahan melemah sayu hingga akhirnya mataku sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari kedipan.

Aku tergeletak seperti patung rebah, jiwaku lelap, hanyut dalam mimpi sambil menghisap kembali seluruh cairan kehidupan yang menguap bersama angin.

00.00 : 26.09.2007

Tiba-tiba ponselku berdering memekak gendang telingaku bertubi-tubi. Nyaris ibarat sebuah orkestra dengan ribuan melodi yang menggema di seluruh ruangan. Cukup nyaring untuk mengusir mimpi-mimpi yang baru beberapa saat berkeliaran diatas kepalaku. Suaranya seakan datang dari labirin ruang dan waktu yang sangat jauh. Sekali..duakali..tigakali..Hmm, entah berapakali ponselku berbunyi, aku tak mampu lagi mengandalkan jari tanganku untuk menghitung nada yang datang, tidak pula jari kakiku.

Aku mulai bosan dan muak. Ada rasa kesal yang menyeruak tanpa permisi di dadaku.

“Shit, aku lupa mengubah nada dering ponselku menjadi silent mode!”desisku memaki diri sendiri.

Hampir bersamaan jam kayu di dinding kamarku berbunyi seperti denting bel Persia, seakan menyahut nada dering ponselku yang belum mereda tanpa jeda. Tapi bagiku adalah kesesakan lain di lorong hati dan telingaku.

Untuk sesaat aku tak mampu untuk menjejak ruang dan waktu. Aku mencoba membuka mataku perlahan. Komponen-komponen gelap masih menyelimuti pandanganku, langit-langit kamar, segala ruang dan penjuru. Aku memang tak bisa tidur tanpa kegelapan.

Dengan malas aku menjulurkan tanganku mencoba meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

“33 messages received”

“Astaga!”Aku terkesiap tanpa mampu menyembunyikan keterkejutanku andai saja kegelapan tak membalut wajahku. Aku mengucek mataku berkali-kali kendati tak cukup berguna untuk merubah tulisan yang tertera di layar ponselku. Benar-benar angka menakjubkan yang melampaui jumlah kehadiranku di kuliah selama satu tahun. Angka yang sama dengan jumlah butiran tasbih kristal yang aku hadiahkan pada temanku di hari ulang tahunnya.

Aku menarik tubuhku ke belakang dan menyandarkannya di dinding yang kusam. Kubaca satu persatu pesan yang masuk.

Seketika aku merasa arus sungai berbalik arah, ada setitik haru yang menembus kisi-kisi hatiku. Menerobos masuk sampai pada emosi yang terdalam. Aku tersenyum melihat pesan-pesan yang berisi ucapan selamat ulang tahun bernada doa dan asa dari orang-orang yang kukenal.

“Alamak!Seharusnya aku menyadari sejak kemarin kalau hari ini adalah hari ulang tahunku”. Sedari dulu aku memang tak pernah merayakannya sekalipun, terkadang melupakan bahkan tak mempedulikannya. Dan aku tahu kalau orang-orang pun tak pernah peduli. Padahal kalau dari dulu aku dan orang-orang mengingatnya, maka aku akan menganggapnya sebagai anugerah. Aku berpikir sebaiknya aku merayakanya kali ini walau dengan cara yang sangat sederhana sekalipun, tanpa jamuan pesta yang sarat dengan hidangan. Ya, Setidaknya untuk dapat menyadarkan dunia akan keberadaanku.

Aku menemukan seonggok kekuatan yang mampu membuatku bangkit dan mengusir sisa kantuk dari tubuh. Lalu dengan sekelumit paksaan aku melangkah menghampiri pintu kamar yang menghadap langsung ke pemandangan kota dengan taburan lampu terakota yang menjajari trotoar.

Di sudut jauh terlihat sebuah arsitektur mini dengan empat kaki membentuk pyramida. Aku mengenalnya sebagai tempat peristirahatan sesosok pahlawan yang pernah menjadi orang nomor satu negeri ini, walaupun tak sedikit dari mereka yang menuduhnya sebagai orang tak berguna karena sebuah pengkhianatan. “Mungkin ini hanya bias temperamen semata.” pikirku dalam hati.

Seketika aku teringat orang seorang pribumi saat menyebut nama lain dari kota ini.

“Kota kematian”katanya padaku lirih.

“Mengapa?”tanyaku heran sembari mengernyitkan dahi.

“Kau tahu pyramid adalah symbol kebanggaan kota ini, bukankah itu berarti kuburan para raja agung. Maka ketika mereka membanggakannya, sama artinya dengan membanggakan kematian. Semestinya kau juga menyadari makna dari kuburan orang-orang shaleh yang sedang kau ziarahi”jelasnya lugas berbuntut satu pertanyaan yang pastinya akan kubalas dengan pertanyaan klise.

“Jadi, sebaiknya jangan kau jadikan kota ini sebagai kuburan masadepanmu”tuturnya mengingatkanku sambil tersenyum dan melangkah pergi.

02.00 : 26.09.2007.

Aku masih termenung bersandar pada bingkai pintu kayu dengan tatapan kosong. Tubuhku masih di sini bermandikan cahaya bulan sampai ke lutut. Tapi anganku sudah lama melayang jauh seakan ditembakkan dari moncong senapan ke dinding masa lalu.

Momen ini membuatku teringat dan memikirkan diri sendiri di masa lalu, hari ini dan masa depan. Mengurai setiap gumpalan memori, asa dan harapan yang mengendap.

Sudah lepas empat belas tahun sejak aku terdampar jauh dari kampungku. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian dan kerinduan orang tua. Tapi rasanya baru kemarin aku dilahirkan. Waktu memang tak pernah mengingatkan kita akan lajunya andai saja kita tak cukup mawas diri untuk selalu mengingatnya. Selalu saja ada penyesalan yang kian hari kian menggunung untuk kesempatan-kesempatan yang terlewatkan dengan kehampaan. Guruku bahkan mendaulatnya sebagai keniscayaan.

Ingatanku berkelebat pada dua sosok wajah yang paling yang paling aku hargai, tiba-tiba aku merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masadepan kepadaku. Pastinya akan terdengar sangat ironis jika aku menjadi sia-sia bagai kutu pohon yang hidup tanpa menawarkan apapun selain hibernasi abadi. Bagaimanapun aku pasti pulang dan mereka akan mengejarku untuk meminta pertanggungjawaban. “Ah, kenapa berpikir terlalu jauh, bukankah kita selalu dituntut untuk berpikir realistis dengan membuang jauh-jauh segala penyesalan masa lalu dan ketakutan masa depan?”sergahku mencoba menghibur diri walau aku menangkap makna kata-kataku semakin kosong.

03.10 : 26.09.2007

Ingatanku terus membumbung menguap melewati atap berbaur bersama angin beraroma fajar. Sementara aku duduk bersandar dengan kaki terjulur menikmati sisa-sisa sepoi angin malam yang mendesiri sekujur tubuhku. Mengikis sedikit demi sedikit kesadaran sampai setipis kulit bawang lalu menyerpih dan tergilas mimpi-mimpi yang berkelebat saat mataku terpejam.

Tiba-tiba dalam keremangan aku melihat seorang perempuan seperti bayangan dengan pesona fisik yang menumbuhkan hasrat pada lelaki dan kecemburuan pada wanita. Batinku terseret pada kekaguman agung. Aku membiarkan mataku mengembara seolah menjelajahi seluruh permukaan aoratnya dengan mata.

Ia menghampiriku dengan tangan melingkar pada sebuah kotak terbungkus berhias pita di pangkuannya.

“Kau Ikbal kan?”tanyanya lirih sembari berlutut di depanku. Aku mengangguk tanpa ada satu ucapanpun meluncur dari bibirku. Aku terpana dan berusaha menahan perasaan yang dibakar gairah. Membendung hasrat yang siap menghambur menjadi ribuan emosi.

“Aku membawa sesuatu untukmu, kado ulangtahun”lanjutnya sambil mengulurkan tangannya seraya menyerahkan kotak yang ada dipangkuannya.

“Kau siapa?”tanyaku memasang muka penuh tandatanya.

“Namaku Ilusi. Panggil saja aku Lusi”sahutnya dengan suara lembut setengah berbisik.

“Kenapa kau lakukan semua ini?”tanyaku pada perempuan itu.

“Karena aku ingin kamu bahagia”serunya sembari menebar senyuman yang membuai jagat.

“Sebaiknya kau buka kadonya”lanjutnya cepat sebelum aku sempat bertanya lagi seolah ia tahu apa yang ada dibenakku.

Aku membukanya dan terpana menemukan 4 ornamen antik tersusun rapih pada rak mini berlapis kain bludru merah. Di kedua sisi aku melihat buku agenda berseberangan dengan sebuah cermin berbingkai kuno. Mengapit jam kalung dan kompas unik yang memisahkan keduanya. Mataku lekat memandangi satu persatu seluruh ornamen yang mirip fatamorgana yang berpendar keemasan dengan perasaan takjub.

“Aku rasa kau cukup cerdas untuk mengerti semuanya”serunya sambil beranjak pergi, tubuhnya menipis bagai kabut dan mencercah seperti kaca lalu lenyap. Aku mengantar kepergiannya dengan kepasrahan bisu seperti nakhoda yang menyaksikan kapalnya karam membawa seluruh kekayaan ke dasar laut.

“Astaga!” aku terperanjat mematung menatap cermin yang kosong tanpa bayangan. Betapa mengerikan membayangkan kenyataan bahwa aku tak bisa melihat diriku sendiri. Kesejatian seorang manusia.

Matahari mulai menabur senyum hangatnya saat aku terjaga dengan setetes harapan.

No comments:

Post a Comment